» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Perspektif Dengkulmu!
13 Mei 2018 | Sastra & Seni | Dibaca 1978 kali
Perspektif Dengkulmu!: - Foto: Carbon Costume
Surabaya pada hari Minggu ini (13/05) mendapat musibah dari pengeboman oknum tertentu di beberapa gereja. Katanya “lakum diinukum waliyadiin” –bagimu agamamu, bagiku agamaku , tapi kenapa masih saja ada yang ikut campur dengan peribadatan orang lain? Apakah tindakan itu dibenarkan oleh Tuhan-mu? Perspektif dengkulmu!

retorika.id - Katanya “lakum diinukum waliyadiin” –bagimu agamamu, bagiku agamaku , tapi kenapa masih saja ada yang ikut campur dengan peribadatan orang lain? Apakah tindakan itu dibenarkan oleh Tuhan-mu?

Diam itu emas bukan hanya idiom belaka, untuk kasus ini lebih baik kau diam saja daripada aksimu kau limpahkan sebab tak kuasa mereduksi kebencianmu.

Apa kau yakin bisa masuk surga karena merenggut nyawa orang lain di tanganmu? Tidakkah malaikat akan memalingkan muka melihat semua dalih yang kau persembahkan atas nama Tuhan?

Kenapa kau tetap ada “disini” jika kau membenci yang beragam? Jika kau menyukai keseragaman kenapa kau tak unjung angkat kaki dari “sini”? Pergilah dengan sesamamu, itu memang hakmu. Tapi tolong jangan merepotkan orang yang ada “disini”. Hak kami juga untuk hidup.

Aku masih bingung dengan perspektifmu. Berjuang dengan nama agama agar lekas masuk surga. Perspektif dengkulmu! Di mana ajaran Tuhan yang menyuruhmu bunuh diri? Dimana ajaran Tuhan yang mengiyakan jalan pintas untuk masuk surga? Bukankah mengurangi usia hidupmu sendiri merupakan pengingkaran terhadap takdir atas kematian? Sadarkah kau jika


tindakanmu bisa saja dianggap menantang kuasa Tuhan? Tak ingatkah kau tentang ilustrasi sakitnya pencabutan nyawa orang-orang yang bunuh diri?

Apakah yang kau anggap beda itu najismu sehingga harus kau singkirkan, atau kau hindari? Kenapa tidak kau saja yang menyucikan dirimu. Semoga saja dengan itu Tuhan bisa memberimu secuil pencerahan, agar pikiran di dengkulmu itu bisa lebih rasional dan humanis mungkin?

Kenapa juga kau mati dengan mengajak orang asing?

Kata temanku kedamaian memang ditentukan mayoritas. Memang kau salah satu mayoritas itu, tapi aku enggan menyebutmu sebagai kelompok “kami”. Kau tak jauh beda dengan para penyimpang yang melanggar syariat.

Sudah cukup agama dipermalukan oleh oknum sepertimu. Rasanya maluku naik hingga ke ubun-ubun karena ulahmu.

Apalagi yang kau serang itu berbagai titik, dan momentum puasa tinggal menghitung hari. “Ingin berkata kasar padamu” memang susah ‘tuk dibendung lagi. Di mana sisi manusiawimu? Tak sadarkah kau bahwa mereka sebagai manusia itu memiliki keluarga dan lingkungan sosial lainnya yang tersayat hatinya karena ulahmu?

Atau coba pikirkan, walau Tuhan-mu dan Tuhan “yang kau bom” itu beda, tidakkah terpikir olehmu jika mereka yang mati karena beribadah pada Tuhan-nya adalah orang yang mudah menjejakkkan kaki di nirwana? Apakah pikiranmu se-sempit itu sehingga kata ibadah kau maknai dengan berperang melawan yang plural? Apakah pikiranmu terus berkutat di dengkulmu sehingga makna jihad terus kau pelintir sesukamu?

Bisakah kau membalik perspektifmu? Bagaimana jika kau diancam ketika hendak beribadah? Jika selamat, besarkah kemungkinanmu membenci agama yang dibawa-bawa oleh oknum yang berusaha membunuhmu? Pernahkah kau berpikir trauma yang kau sebabkan bisa membuat mereka menjadi takut untuk menghadap Tuhan-nya? Ya mungkin memang itu tujuanmu. Tapi bagaimana jika karena itu mereka menjadi takut untuk beriman? Padahal agama sendiri merupakan institusi yang mengajarkan moral baik sehingga membuat eksistensi manusia menjadi lebih berharga dan menyumbang banyak hal baik bagi kehidupan sosial. Walaupun memang agama juga “dibawa” diatas pedang.

Kau tahu, bukan kedamaian yang kau bawa, tapi pesan kebencian yang kian menyebar. Sudah tahu bangsa ini mengalami kemunduran karena konflik SARA, masih saja kau tambahi hingga langkah bangsa makin mundur lagi. Sudah tahu minoritas tak benar-benar “nyaman” dengan ulah mayoritas, malah kau tambah lagi ketidaknyamanan itu.

Ingatkah kau oknum yang seenak jidat menutup tempat makan yang buka di siang hari ketika puasa? Padahal tidak semua orang berpuasa. Bahkan di “golongan-mu” pun perempuan yang berhalangan, dan para “pemokel” juga tidak berpuasa. Apalagi orang di luar agamamu.

Ah, aku jadi makin benci tatkala mengingat bahwa acara buka bersama merupakan momentum simbolik untuk reuni bersama kawan lama. Kami yang saat itu hendak bercengkrama, menjalin silaturahmi yang sempat terputus, mencoba mencari cara agar bisa berlama-lama bersama dengan cara berkaraoke tanpa “minum”. Tapi malah semua karaoke, termasuk karaoke keluarga yang tanpa “minum” juga ditutup.

Ah, tindakan semena-menamu rasanya terlalu banyak untuk kubuat dalam list.

Jangan menuntut dihargai kalau kau tak bisa menghargai. Lakum diinukum waliyadiin. Berfokuslah pada ibadahmu, jangan mengusik ibadah orang lain.  “Lakum diinukum wa liyadii, untukmu agamamu dan untukku agamaku”, rasanya hanya menjadi “kata-kata”, dan menjadi firman Tuhan yang tak diketahui dan diingkari oleh orang-orang itu.

 

Penulis : Anita Fitriyani


TAG#agama  #demokrasi  #humaniora  #karya-sastra