
3 Mei selalu diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Internasional. Namun benarkah pers di Indonesia menikmati kebebasan mereka? Tidakkah mereka dikungkung oleh "penguasa" mereka dalam memberikan publik informasi yang benar? Lalu untuk apa merayakan hari ini jika hanya bualan semata?
retorika.id - Tepat pada hari ini, tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Internasional. Peringatan tersebut digunakan oleh berbagai orang yang memiliki afiliasi terhadap dunia pers, demi mempertahankan kebebasan media dari berbagai serangan dan memberikan penghormatan pada para jurnalis yang gugur dalam tugasnya. Peringatan yang bisa disebut sebagai Hari Perayaan Serikat Jurnalis tersebut juga dijadikan ajang untuk mengingatkan pemerintah agar menghormati komitmennya terhadap kebebasan pers sejak lahirnya reformasi di Indonesia, dan mendorong masyarakat agar turut memperjuangkan kemerdekaan pers melalui hak ketebukaan atas akses informasi publik.
Jaminan kemerdekaan pers diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang hak pemenuhan atas informasi bagi setiap warga negara. Peraturan tersebut menjadi legalitas para jurnalis dalam pencarian informasi, namun terus dikritisi dan dikaji ulang karena masih banyak kasus kekerasan yang dialami oleh para jurnalis menjadi realita yang pahit bagi mereka yang tidak mendapatkan kebebasan dalam pemenuhan hak atas akses informasi. Kemunculan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) lahir karena tuntutan keresahan dari koalisi jurnalis yang mendesak pemerintah
untuk membuat peraturan yang sungguh-sungguh menjamin kebebasan pers. Kendati, peraturan secara tertulis tetap tidak menjamin para jurnalis dalam kebebasan pers.
Dilansir dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat sejak tahun 1996, telah terjadi 12 kasus pembunuhan jurnalis dan 8 kasus diantaranya belum diusut oleh pengadilan. Dalam konteks ini Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mengatakan kebebasan berekspresi menjadi hak fundamental yang mencakup kebebasan dalam mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apapun dan tidak memandang batas negara patut dipertanyakan.
Berbagai perlakuan represif yang dialami oleh para jurnalis turut dipengaruhi oleh faktor sejarah kelam bangsa Indonesia pada rezim Orde Baru yang melembagakan berbagai upaya untuk membatasi ruang gerak media pers, sehingga berdampak pada ‘bentukan’ budaya patron-client dimana masyarakat melegitimasi suguhan berita yang sesuai dengan kepentingan pemerintah dan cenderung berpihak pada kapitalis.
Media pers pada hakikatnya merupakan jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah dengan kepentingan publik, sehingga tak jarang ditemukan media pers yang merupakan kaki tangan negara dalam mengintervensi masyarakat dengan berbagai kepentingan melalui framing media. Porsi kepentingan elit media pers membuat kualitas tulisan berita yang dihasilkan cenderung mengejar pasar daripada mencondongkan pada kewajiban jurnalis untuk menggali kebenaran sumber informasi menjadi tulisan yang berbobot dan mencerdaskan masyarakat. Sehingga menjadi hal yang tak mengherankan jika para jurnalis dalam melakukan profesinya tidak bertugas untuk menggali suatu kebenaran, tapi hanya mengemas sumber informasi sesuai dengan ‘pesanan’ berita oleh pemilik media pers.
Media pers yang semakin masif memproduksi berita hoax karena kepentingan rating, realitanya telah diminati oleh masyarakat dan terus menerus dikonsumsi. Masyarakat secara tidak sadar telah terhegemoni oleh kepentingan framing media, dan pengaruh budaya instan yang digemari oleh masyarakat menjadikan berita hoax atau clickbait mempunyai daya tarik tersendiri demi mengikuti tren isu yang sedang berlangsung. Hal ini menjadi permasalahan yang dilematis sehingga terjadilah ambivalensi. Di satu sisi jurnalis dihadapkan pada perannya dalam menegakkan demokrasi melalui kebebasan dalam mengakses informasi publik yang menghasilkan tulisan yang sesuai dengan fakta di lapangan. Namun di sisi lain, jurnalis berada dalam tekanan sistem yang mengekang demokrasi karena kekuasaan elit media yang besar melalui intervensi berbagai kepentingan korporasi.
Jadi dalam konteks tersebut, berbagai kepentingan dari elit media, jurnalis, maupun masyarakat menimbulkan permasalahan kompleks yang menunjukkan kegagalan bangsa dalam memahami dan menjalankan komitmennya atas kebebasan pers. Meskipun, tidak ada kebenaran yang bersifat tunggal tetapi hakikat pers untuk menggali kebenaran sumber informasi harus terus diperjuangkan demi mencerdaskan masyarakat melalui tulisan berita yang berkualitas. Perlakuan represif yang telah dialami oleh para jurnalis membuat kita harus mengakui kemerdekaan pers di Indonesia masih dikhianati, dan menjalani kehidupan yang demokratis melalui jaminan kebebasan berekspresi dilukai. Hal ini menunjukkan wacana kebebasan pers secara terus menerus diproduksi dalam demokrasi yang sesungguhnya hanyalah sebuah omong kosong belaka.
TAG: #demokrasi #lpm-retorika #pers-mahasiswa #portal-web-pers-mahasiswa