» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Ngedit Foto Orang Tanpa Izin itu Nggak Salah... Kan?
16 Agustus 2024 | Opini | Dibaca 202 kali
Ngedit Foto Cewek Cantik di Medsos itu Nggak Salah.... Kan?: Ngedit Foto Cewek Cantik di Medsos itu Nggak Salah.... Kan? Foto: Vecteezy
Diketahui: Ngedit foto orang jadi foto tidak senonoh di medsos. Ditanya: Nggak salah, kan? Jawab: Ngedit foto orang sembarangan itu bukan cuma salah, tapi juga kriminal dan berhak dihukum seberat-beratnya.

Retorika.id - Ospek baru berjalan tiga hari, kasus pelecehan seksual verbal sudah saja terjadi. Seorang oknum mahasiswa baru Universitas Airlangga (Unair) melakukan pelecehan seksual secara verbal pada hari kedua PKKMB universitas. Ironisnya, hal ini terjadi saat sesi tanya-jawab terkait materi pencegahan kekerasan seksual yang dibawakan oleh Satgas PPKS. 

Kira-kira, begini pendapat yang ia lontarkan: (Mohon dipahami bahwa ini bukanlah kutipan  kata-per-kata, melainkan hanya garis besar saja, -red).

 

“Kalau kamu sudah membagikan foto di sosial media, berarti kamu sama saja telah memberikan consent bagi foto tersebut untuk diedit, termasuk diedit jadi foto nggak senonoh pakai AI. Kalau tidak suka, harusnya gak usah ngepost saja!”


Ada banyak alasan mengapa kalimat ini ibarat tamparan bertubi-tubi untuk kita semua. Peristiwa ini kembali menyoroti betapa terbelakangnya sex education di negara ini. Tidak ada tempat aman, bahkan di sebuah kegiatan bertajuk pengenalan


kampus yang harusnya sakral dan menjadi titik pertama evolusi dari siswa biasa menjadi siswa yang ‘maha’. Dilakukan oleh mahasiswa baru, di kampus top Indonesia pula, yang seharusnya sudah sufisien mencari dan mencerna informasi. Seharusnya, dengan segala informasi dan kajian yang tersebar di mana-mana, kejadian ini bisa dihindari. Ini sudah 2024. Harusnya kita sudah jadi lebih baik.

 

Pendapat X juga sarat akan kultur yang sepertinya sudah mendarah daging di benak orang awam; victim blaming atau menyalahkan korban. Korban sudah dilecehkan, dipermalukan di depan publik, direnggut otoritas ketubuhannya—eh, rupanya masih disalahkan pula. Menurut orang-orang seperti X ini, korban dilecehkan karena korban yang “minta”. Korban yang “mengizinkan pelaku untuk berbuat tidak senonoh,” “Salah sendiri upload foto di medsos!”, “Memang apa salahnya? Kan itu Instagram cewek cantik!” 

 

Selain memang dasarnya salah kaprah, retorika seperti ini juga tidak masuk akal sama sekali. Dengan logika yang sama, berarti jika ada orang dirampok di jalan, maka yang salah adalah yang dirampok dan bukan pencurinya. Salah sendiri keluar rumah bawa barang berharga, kan? Memang apa salahnya mencuri? Kan itu tempat publik. Kalau nggak mau kerampokan, diam di rumah saja! Begitu, ‘kan?

 

Pandangan bahwa mengunggah foto ke laman media sosial pribadi sama dengan lampu hijau untuk melecehkan adalah bentuk awal dari pelanggengan rape culture (budaya pemerkosaan). Candaan seksis, komentar bernada seksual, dan perilaku misoginis pun termasuk. Pelakunya tak ubahnya pemerkosa. Tidak peduli mereka “hanya berpendapat” dan tidak betulan memerkosa orang. Mereka-mereka yang turut serta melanggengkan budaya pemerkosaan adalah pemerkosa. Bibit-bibit kriminal. Sampah masyarakat yang harus diberantas.

 

Memang sulit untuk memberantas budaya pemerkosaan. Praktiknya sudah mendarah daging. Namun, budaya bukannya resisten terhadap kritik, kan? Harusnya, mahasiswa-lah yang mampu menahkodai perahu kritik ini. Mahasiswa, sebagai agent of change, harusnya mampu melihat bahwa budaya seperti ini tidak pantas untuk dilanjutkan. Semua orang, terutama perempuan, berhak untuk menavigasi kehidupan dunia maya dengan normal tanpa dituduh "meminta untuk dilecehkan". 

 

Mahasiswa seharusnya berperan aktif dalam mengakhiri pola pikir yang menyalahkan korban pelecehan seksual. Harusnya tidak ada ruang bagi siapapun, terutama mahasiswa, untuk mengadopsi pemikiran kolot macam victim blaming dan budaya pemerkosaan ini. Ini harus menjadi pelajaran bagi agar kita semua bisa menjadi lebih “tangan besi” dan intoleran terhadap semua jenis kekerasan seksual.

 

Budaya seperti ini harus segera mati. Untuk mewujudkannya tentu kita akan dihadapkan oleh banyak rintangan. Butuh lebih banyak kesadaran masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman, bahkan di media sosial pun. Harus didukung pula dengan payung hukum yang harus berperspektif korban. Dan mau tidak mau, suka tidak suka, mahasiswa lah garda terdepan dari usaha ini. 


Penulis: Pinkan Ayu, Putri Choirunnisa, Sulthan Zakky, Vraza Cecilia

Editor: Anisa Eka


TAG#aspirasi  #universitas-airlangga  #  #