Artikel ini dipublikasikan secara fisik dalam pamflet Retorika.
Retorika.id - Pernah misuh-misuh sewaktu diterima di Unair terus lihat uang kuliah tunggal (UKT) yang melangit sampai bikin lidah tergigit? Atau pernah bertanya-tanya kenapa jalur mandiri –dengan kuota paling besar dari jalur masuk lainnya– menguras kantong orang tua yang sudah menangis meronta-ronta? Mengapa perkataan “masuk kampus negeri aja, lebih murah” terdengar basi sekarang ini? Mengapa seakan tak ada akses mudah untuk mengenyam pendidikan tinggi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia? Ada beberapa faktor yang mendasarinya, tapi pamflet singkat ini akan membahas secara singkat komersialisasi pendidikan tinggi dan efeknya terhadap biaya kuliah yang mahal di universitas-universitas Indonesia.
Komersialisasi pendidikan berkaitan dengan bergesernya akses terhadap pendidikan yang semestinya berada di ranah publik menjadi ranah privat (Wibowo, 2008). Pendidikan dan ilmu pengetahuan yang semestinya memiliki trayektori ke seluruh masyarakat, gagal diinternalisasi. Komersialisasi pendidikan yang berorientasi pasar dan uang berdampak pada eksklusifnya pendidikan, berujung pada kondisi diskriminatif yang tajam ke
bawah.
Lantas bagaimana komersialisasi dan komodifikasi merasuki sendi pendidikan? Deregulasi dan penyerahan otonomi lebih terhadap universitas adalah jawabannya. Ditilik dari sejarahnya, universitas negeri semasa orde baru adalah lembaga yang bersifat sentralistik dan hierarkis. Pasca-reformasi, terjadi perubahan cukup masif yang menyebabkan terbentuknya Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), pada tahun 2000. Hal ini membawa transformasi signifikan terhadap berjalannya perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan. Menjajaknya PTN-BH sekaligus merupakan deregulasi yang mengubah perguruan tinggi menjadi entitas otonom swadana. Deregulasi mengurangi peran negara dan mendorong operasi pasar, menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas yang mesti dibeli dengan harga tinggi (Miraftab, 2004). Dampaknya adalah, dana dari APBN yang semestinya dicurahkan untuk perguruan tinggi, entah untuk peningkatan mutu, infrastuktur, maupun fasilitas, menjadi jauh berkurang.
Kondisi ini merupakan ‘perkawinan’ antara elite universitas negeri terkemuka –yang ingin memiliki lebih banyak otonomi– dan pemerintah yang berupaya mengurangi dana yang diberikan oleh negara untuk menunjang perguruan tinggi sebagai bagian dari kepentingan publik. Status hukum baru ini membuka peluang bagi universitas untuk mencapai tingkat kemandirian yang lebih tinggi dalam menghasilkan pendapatan sendiri. Dengan demikian, universitas memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam mengelola pendanaan dan manajemen secara independen (Rakhmani, 2019). Perubahan hukum ini menggelontorkan kekuatan kepada universitas untuk mengeruk lebih banyak pendapatan sebagai alternatif jalan dari turunnya pendanaan negara, sekaligus menandakan pergeseran ke arah pemerintahan yang bersifat neoliberal. Yang menjadi permasalahan di sini adalah bagaimana perguruan tinggi, yang tidak didesain untuk mencari uang, diharuskan untuk menghidupi dirinya sendiri.
Dalam sistem demikian, lantas dari mana kampus mendapatkan uang mereka? Dari mahasiswa tentunya. Karena itulah uang UKT kita kian mahal dari tahun ke tahun. Belum lagi massalisasi mahasiswa yang juga didasari oleh kepentingan ini. Tiap tahun, jumlah penerimaan mahasiswa di Universitas Airlangga naik – yang bisa diartikan juga sebagai naiknya "pendapatan" kampus itu sendiri.
Lepasnya kontrol negara terhadap hal-hal yang semestinya disediakan guna memenuhi hak warga negara adalah hal yang patut dicermati. Ternyata, pendidikan tak luput dari kelalaian negara dalam menjalankan perannya. Satu pertanyaan lagi mencuat, masih pantaskah universitas disebut institusi pendidikan, alih-alih pasar pendidikan?
Referensi:
Miraftab, F. 2004. “Making Neo-liberal Governance: The Disempowering Work of Empowerment.” International Planning Studies 9 (3): 239–259.
Rakhmani, I. (2019). Reproducing academic insularity in a time of neo-liberal markets: The case of social science research in Indonesian state universities. Journal of Contemporary Asia, 51(1), 64–86. https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1627389
Wibowo, A. (2008). Malpraktik pendidikan.
Penulis: Jingga Ramadhintya
Editor: Vraza Cecilia
TAG: #akademik #aspirasi #dinamika-kampus #fisip-unair