Johny G. Plate, selaku Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), mengusulkan Pemilu 2024 diselenggarakan secara online melalui E-Voting. Dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu Untuk Digitalisasi Indonesia, Johny mendorong digitalisasi pemilu karena manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate baik dalam tahap pemilihan, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilu. Namun, sejumlah permasalahan juga turut mewarnai usulan tersebut. Salah satunya adalah adanya serangan siber dan lemahnya infrastruktur TIK di Indonesia.
retorika.id-Menjelang tahun 2024, berbagai isu mengenai Pemilu layaknya angin segar yang marak diperbincangkan. Mulai dari penundaan Pemilu 2024 hingga usulan Pemilu menggunakan elektronik voting atau e-voting menyita perhatian publik.
Baru-baru ini, Johny G. Plate selaku Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), menyarankan penyelenggaraan Pemilu 2024 dilakukan secara daring dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu Untuk Digitalisasi Indonesia pada Selasa 22 Maret, 2022.
Dilansir dari siaran pers kominfo.go.id, Johny G. Plate menerangkan bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 merupakan sebuah momentum untuk menghasilkan para pemimpin masa depan dengan komitmen digitalisasi Indonesia. Menurutnya, digitalisasi pemilu di era industri 4.0 ini sangat mungkin terjadi lantaran sudah banyak negara yang mulai menerapkan e-voting sebagai sarana pemungutan suara dalam pemilihan umum.
Sebagai studi banding, Menkominfo mencontohkan negara Baltik di Eropa Utara, Estonia, yang menjadi negara terdepan di dunia karena keberhasilan mengadopsi pemungutan suara secara digital.
“Melalui pemungutan suara online yang bebas, adil dan aman, serta melalui sistem e-vote atau internet voting. Estonia telah melaksanakannya sejak tahun 2005 dan ini telah memiliki sistem pemilihan umum digital di tingkat kota, negara dan di tingkat Uni Eropa yang telah digunakan oleh 46,7% penduduk. Jadi bukan baru, termasuk KPU ini sudah lama juga menyiapkannya,” ungkap Johny pada rapat yang dihadiri oleh komisioner serta pejabat struktural dan fungsional Komisi Pemilihan Umum.
Menurut keterangan Johny G. Plate pula, KPU India telah bekerja sama dengan salah satu perguruan tinggi sedang mengembangkan teknologi blockchain sebagai sarana pemungutan suara dalam rangkah digitalisasi tahapan Pemilu.
“Saat ini India is
now using it! India sedang menggunakan blockchain untuk mendukung voting jarak jauh dalam pemilihan umum (televoting). Diharapkan dapat direalisasi dalam pemilihan umum India tahun 2024 mendatang, sama seperti kita. Jadi kalau kita melakukan benchmark dan studi tukar informasi dan pengetahuan, serta pengalaman bisa dilakukan bersama mereka."
Di sisi lain, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Viryan Aziz, mengingatkan agar digitalisasi pemilu di Indonesia yang dilakukan oleh pihak penyelenggara dan pemerintah tidak mengabaikan kedaulatan digital masyarakat. Kedaulatan digital jangan sampai dikendalikan atau dikelola oleh pihak lain di luar negara Indonesia.
Kedaulatan dapat diartikan sebagai pengamanan optimal yang diberikan negara terhadap data pribadi masyarakat Indonesia sebagai pemilih dan mengupayakan adanya pertahanan siber berlapis
Virvan Azis juga turut memaparkan keuntungan yang diperoleh apabila Indonesia menerapkan digitalisasi dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang, salah satunya adalah pelaksanaan pemilu akan mampu berjalan lebih mudah dan sederhana. Dengan demikian, persoalan klasik dalam pemilu, seperti sistem data kependudukan yang bermasalah dapat terselesaikan.
Namun, ibarat dua mata pisau, digitalisasi Pemilu juga menuai kontra dari sejumlah elemen masyarakat. Salah satu kekurangan Pemilu online yang paling krusial adalah adanya serangan siber. Terdapat beberapa jenis malware yang dapat dipakai untuk mengganggu pemilu online, seperti mengganti pilihan para pemilih, pencurian data-data pribadi, atau lebih parahnya memasukkan malware ke gawai korban yang dipakai untuk mencoblos.
Sementara itu, undang-undang tentang perlindungan data pribadi di Indonesia belum juga disahkan bahkan mengalami deadlock. Tidak adanya payung hukum yang jelas menyebabkan korban tidak memiliki rasa aman, sebab kerahasiaan data pribadinya belum seutuhnya terjamin dari penyalahgunaan.
Pencurian dan serangan siber ini tentu saja akan dapat merusak integritas Pemilu. Baik dari segi panitia pemilihan umum maupun masyarakat biasa. Meskipun tujuan awal digitalisasi Pemilu dianggap mampu memudahkan sekaligus membuat efisien karena melalui genggaman tangan, orang-orang bisa langsung menggunakan hak pilihnya.
Tidak hanya persiapan keamanan siber, Pemilu online juga memerlukan kesiapan pusat data nasional yang aman dan benar-benar teruji, sehingga nanti tidak ada lemot dengan alasan traffic penuh dan alasan teknis lain berkenaan dengan jaringan serta pusat data.
Selain serangan siber, ancaman lainnya adalah social engineering. Sebenarnya, para pemilih pemilu konvensional pun dapat menjadi korban social engineering. Social engineering itu sendiri adalah istilah yang mengacu pada praktek memanipulasi seseorang untuk mengambil keuntungan.
Berbagai macam social engineering dapat menyerang baik para pemilih maupun para panitia pemilu. Contohnya, sang pelaku social engineering dapat mengirim email yang mengatakan bahwa di dalam email tersebut terdapat link resmi untuk mencoblos (walaupun sebenarnya bukan) dan jika diklik dapat mengarah ke website palsu.
Oleh karena itu, pemilihan secara online amatlah bergantung dari kesiapan infrastruktur digital terutama tingkat penetrasi internet, sementara di Indonesia sendiri tidak semua daerah mempunyai akses internet yang sama. Adanya kesenjangan dalam segi infrastruktur akan menyulitkan jika Pemilu online ini diimplementasikan ke seluruh daerah. Hal ini merupakan tugas berat bagi KPU untuk melakukan edukasi pada petugasnya di lapangan, baik dari sisi regulasi, teknis, maupun keamanan sistem itu sendiri.
Umumnya, negara-negara berkembang masih tertinggal dalam hal ini. Selain kesiapan infrastruktur digital, sebagian masyarakat masih pun belum menguasai teknologi dengan optimal. Gagap teknologi dan lemahnya literasi digital juga menjadi faktor penghambatnya.
Bahkan dalam sebuah negara maju sekalipun, umumnya masih ada kesenjangan literasi digital. Kesenjangan literasi digital ini biasanya disebabkan oleh faktor sosio-ekonomi seperti jumlah penghasilan, tingkat pendidikan, etnis, dan umur. Mayoritas, mereka yang berpenghasilan lebih rendah dan juga mereka yang lebih tua, akan enggan mencoblos secara online.
Maka dari itu, Pemilu secara online sebenarnya tidak ada salahnya karena mampu memudahkan lantaran tak perlu ke TPS. Akan tetapi, pemilihan online juga tak luput dari berbagai hambatan sekaligus kendala baik dari segi masyarakat yang kurang melek terhadap perkembangan teknologi serta pemerintah yang harus senantiasa memperbaiki keamanan negara serta pemerataan infrastruktur jaringan 4G.
Penulis: Diana Febrian
Penyunting: Geovany Seno Hermawan
Refrensi:
Media Indonesia. 2021. Digitalisasi Pemilu Jangan Abaikan Kedaulatan Digital. https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/453379/digitalisasi-pemilu-jangan-abaikan-kedaulatan-digital (Diakses 27 Maret, 2022)
Center For Digital Society. 2021. Pemilu Secara Online, Mungkinkah? https://cfds.fisipol.ugm.ac.id/id/2021/01/14/pemilu-secara-online-mungkinkah/ (Diakses 27 Maret, 2022)
TAG: #demokrasi #kerakyatan #pemerintahan #politik