
Di era pandemi seperti ini, karya jurnalistik merupakan salah satu komponen penting dalam menyampaikan informasi kepada publik. Namun, pemberitaan yang sudah merambah di dunia digital, tidak menutup kemungkinan diunggah secara real time sehingga menyebabkan informasi menjadi melimpah (infodemik). Di Indonesia sendiri, infodemik justru bisa muncul dari otoritas dan menjadi layaknya sebuah virus. Inilah sebenarnya yang menjadi tantangan sulit bagi wartawan dalam melakukan peliputan atau membuat berita.
retorika.id- Infodemik baik daring maupun luring, menyebabkan informasi yang tersebar belum tentu akurat. Hal ini dibahas lebih lanjut pada Webinar: Journalistic Talkshow For Millenials yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Mercusuar Universitas Airlangga dengan narasumber Vany Fitria, Ahmad Arif, dan Aqwam F Hanifan pada Sabtu (13/3) via Zoom Meetings.
Menurut senior jurnalis Kompas, sekaligus ketua umum jurnalis bencana dan krisis, Ahmad Arif, infodemik sama halnya dengan virus. “Semakin lama dia dibiarkan menyebar dan orang memiliki literasi yang kurang baik terhadap informasi dan terus menyebarkannya, maka informasi akan semakin menyebar. Kuncinya adalah individu yang memiliki kesadaran kritis untuk memutusnya," ujarnya.
Di Indonesia sendiri, infodemik justru bisa muncul dari otoritas. Inilah sebenarnya yang menjadi tantangan sulit bagi wartawan dalam melakukan peliputan atau membuat berita. Jurnalis sebagai garda terdepan dituntut untuk lebih kritis dan mencegah penyebaran informasi yang tidak akurat akibat infodemik.
Secara umum, Arif menjelaskan setidaknya ada 3 persoalan yang menjadi hambatan bagi
jurnalis dalam meliput berita bencana seperti Covid-19. Pertama, lemahnya pengetahuan dan keterampilan seorang jurnalis dalam meliput bencana ataupun krisis. Kedua, persoalan etik, karena memang jarang sekali media-media membekali pendidikan tersebut bagi jurnalisnya. Ketiga, di saat pra pandemi seperti ini terdapat persoalan ekonomi, politik yang menekan para jurnalis. Dominasi industri media di Indonesia sering kali menimbulkan hal bias, seperti bias kepentingan, peliputan, dan lainnya.
“Kita tahu bahwa narasi yang dibangun di pemerintah Indonesia ini kan cenderung narasi positif ya, jadi data cenderung dikendalikan. Informasi yang disampaikan cenderung menenangkan,” jelas Arif menambahkan.
Berdasarkan hal tersebut, Arif menyimpulkan jika pemerintah, khususnya kementrian kesehatan, memiliki pemahaman sendiri terkait konsep komunikasi risiko, yakni tidak ingin memunculkan kepanikan. Hal ini juga tertuang dalam peraturan menteri kesehatan tahun lalu (2020).
“Tujuan komunikasi risiko kita itu adalah untuk menenangkan masyarakat, padahal seharusnya komunikasi risiko itu melakukan empowering kepada publik, meningkatkan pemahaman kepada masyarakat mengenai risiko dan ancaman yang dihadapi sehingga masyarakat dapat memiliki pengetahuan menyelamatkan diri, keluarga dan sekitarnya.”
Namun, pada kenyataannya, konsep yang dipahami pemerintah hingga kini justru menimbulkan rasa abai di masyarakat. Narasi yang dimunculkan sehari-hari tetap saja kesembuhan penyakit yang tinggi, ajakan presiden untuk tetap terstruktur, dan segala informasi biasa yang mungkin akan terbawa pada penyesatan pemahaman publik.
Arif juga menekankan, jika di era pandemi seperti ini, ada banyak media yang memiliki tekanan ekonomi, dalam artian tutup. Belum semua media memberikan alat pelindung diri (APD) yang memadai dan pengetahuan peliputan secara aman. Untuk menyiasati permasalahan tersebut, menurutnya ada cara yang harus dilakukan jurnalis.
“Kalau saya selalu kembali bahwa esensi dari jurnalistik itu adalah disiplin verifikasi, harus dikembalikan kepada otoritas keilmuan dan pengetahuan. Bukan lagi otoritas alat kekuasaan.”
Sepakat dengan Arif, Aqwam F Hanifah yang juga produser investigasi Narasi TV menyampaikan ada, tiga tahapan yang bisa dilakukan oleh jurnalis dalam meliput, terutama di era pandemi Covid-19.
“Wartawan yang baik itu adalah wartawan yang selalu skeptis menerima informasi. Jadi ketika dia menerima infomasi itu dia langsung bertanya, informasi ini betul apa enggak, informasinya dari mana, maksud informasinya apa? Lalu, dia akan meng-cross check. Cross check informasi ini dari mana, terus ilmiahnya apa? Ada jurnalnya nggak sih informasi ini?”
Hal itu dilakukan, mengingat perkataan atau data yang dilontarkan oleh pemerintah seringkali menimbulkan hal bias, pun data resmi yang telah diunggah. Wartawan bisa melakukan cek ulang, agar berita yang dihasilkan lebih akurat dan dapat dipercaya masyarakat. Kemudian, langkah yang terakhir adalah memilah, siapakah sumber yang kredibel untuk menanggapi isu tersebut?
“Jurnalis yang baik adalah jurnalis yang meng-counter atau cross check data yang didapat. jurnalis yang lebih baik lagi adalah jurnalis yang melakukan investigasi terhadap data yang didapat,” imbuh Aqwam di sesi presentasinya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang, Kadek Putri
Editor: Sindhie Ananda Dwianti
TAG: #aspirasi #gagasan #inovasi #pendidikan