» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Pop Culture
Kehidupan Dua Dunia di Ready Player One
24 November 2018 | Pop Culture | Dibaca 1829 kali
Ready Player One: - Foto: IMDb
Mengambil dualisme antara dunia game dan dunia nyata, Ready Player One menjadi angin segar dibalik kerundungan film-film Hollywood akan genre science fiction yang sering didominasi dengan kisah-kisah super hero. Film ini juga menegaskan kembali tentang eksistensi gamers yang mengglobal dan identitas virtual yang menyertainya.

Judul film                    : Ready Player One

Genre                          : Science-Fiction

Sutradara                     : Steven Spielberg

Produksi                      :  Warner Bros. Pictures

Tayang Perdana         : 29 Maret 2018 (US),  28 Maret 2018 (Indonesia)

Durasi                          : 123 menit

Pemain                        : Tye Sheridan , Olivia Cooke, Ben Mendelsohn, Lena Waithe, dll

 

Ketika kau merasa bahwa aktualisasi dirimu lebih menyenangkan di virtual – dunia di mana permainan tak lagi dianggap sebagai “mainan”. Dunia dimana kau bisa berteman, menjadi kaya, dan bahagia. Namun sadarkah kau jika kau harus bangun? Hadapi realitasmu, jangan terlena oleh kebahagiaan semumu.

Di balik kerundungan film-film bertemakan super hero, horor, dan action, rasanya film ini bisa menyegarkan persepsi kita akan film. Yep, walaupun science-fiction bukan merupakan hal baru dalam industri perfilman, namun tema-tema baru dengan kesan futuristik akan selalu menggoda kita – insan masyarakat global –untuk mencernanya sambil mengambil relevansinya dengan prediksi di masa depan.

 

Plot

Film Ready Player One menceritakan dunia di masa


depan dimana bermain game menjadi kebutuhan, bukan hanya anak-anak dan remaja saja, malahan orang-orang dewasa yang sudah cukup berumur-pun tak lepas dari keranjingan bermain game virtual bernama Oasis. Sebegitu besar pengaruh game ini sehingga ada beberapa orang yang bahkan membelanjakan uang mereka untuk beberapa equipment yang dapat berguna selama game berlangsung. Pada level ekstrim bahkan orang bisa menjual rumah demi bisa menguprade karakternya.

Tak berhenti disitu, kematian sang pencipta game –Halliday, membuat para pemain menjadi makin “beringas”. Sang pencipta mengadakan kontes untuk mendapatkan easter egg. Caranya dengan mengumpulkan 3 kunci yang masing-masing kuncinya didapat dengan lomba. Hadiahnya tak sekadar telur berkilau itu, tapi juga saham di korporasi gamenya dengan jumlah banyak dan kontrol penuh akan Oasis.

Wade – sang tokoh utama, merupakan geeks dari game ini. Ia menjadi solo player dalam Oasis dengan username Parzival. Walaupun solo, tapi ia juga memiliki teman, walau tetap menolak untuk membentuk clan.

Masalah diperburuk karena adanya korporasi bernama IOI yang mencoba memenangkan easter egg tersebut. Sayangnya niat tersebut ditujukan agar bisa menguasai dunia. Iya, menguasai Oasis berarti menguasi dunia. Ini tak mengejutkan mengingat mayoritas dari masyarakat memainkan game tersebut. Usaha IOI tidak tanggung-tanggung, mereka mempekerjakan begitu banyak orang demi memenangkan easter egg.

Tokoh utama dan teman-temannya seperti yang dapat ditebak merupakan tokoh protagonis dengan idealisme “biarkan permainan menjadi permainan”, dan menolak businessman untuk mengotori arena permainan dengan kepentingan kapitalis mereka.

 

Review

Berbicara mengenai film ini pasti tak akan jauh-jauh dari anime Sword Art Online (SAO). Kenapa? Ada pandangan bahwa film ini adalah remake dari SAO namun dibuat dengan tangan Hollywood.  Ya memang ada persamaan dari kedua hal tersebut, mereka sama-sama menceritakan dunia di masa depan dimana manusia jauh lebih betah tinggal di dunia game virtual. Hanya saja perbedaannya adalah di SAO, player akan mengalami kelumpuhan otak jika mati dalam game. Sedangkan di film Ready Player One, player yang mati dalam game tetap hidup dalam dunia nyata.

Berbicara mengenai film Ready Player One, penulis merasa transisi antara kehidupan nyata dan kehidupan di dalam game rasanya dapat divisualisasikan dengan cara yang pas sehingga tidak membingungkan. Animasinya cukup memanjakan mata dan terasa agak real karena dibuat dengan 3D.

Ada poin menarik lainnya dari film ini, yaitu bagaimana game virtual dapat menjadi gerakan sosial. Mobilisasi massa cukup mudah dilakukan jika kamu adalah player yang memiliki high rank. Semua akan hormat dan tunduk pada titah Sang Pemenang.

Di dalam game, kamu adalah kamu. Orang tidak akan menilaimu karena rupamu, jenis kelaminmu, rasmu, atau agamamu. Di sini hanya ada avatarmu dengan penampilan yang kau inginkan. Di sini hanya butuh bicaramu untuk mendapatkan teman – di samping skill-mu.

Oh iya, ada hal yang cukup menggelitik dari film ini yaitu bagaimana rasa innocent karakter utama film ini agar permainan “tetap menjadi “pemainan” , bukannya diambil alih oleh kapitalis. Entah karena sudah “maniak” atau memang idealisme gamers sudah melekat kuat memang. Penulis merasa sosok idealis di masa kini rasanya cukup langka, jadi melihat ada sosok seperti ini –walaupun dalam film –membuat penulis merasa aware akan kehadiran mereka, atau malah jadi agak bingung dengan kehadiran mereka.

Ready Player One mengajarkan nilai dari totalitas, atau dalam istilah lain perfeksionis. Butuh ketelitian untuk mendapatkan clue untuk bisa memenangkan tiap kunci dalam kontes yang ada di game ini. Geeks akan sangat diuntungkan karena informasi-informasi yang dianggap tidak penting tetap mereka ingat, dan justru jadi penentu keberhasilan. Disini terlihat sekali sikap pembuat game yang ingin diperhatikan oleh para penikmat ciptaannya.

Oh iya, penulis juga tersadar bahwa username alay bukan cuma menjangkit Indonesia tercinta. Terbukti username Art3mis serasa normal dalam dunia Oasis. Penulis memang bukan gamers, jadi tidak tahu realitas game online dengan pemain-pemainnya yang berskala internasional. Yang jelas username tetap menjadi  hal yang unik di mata penulis, apalagi jika menggunakan “stage name”, bukannya nama asli.

Realitas dalam Ready Player One selanjutnya yang cukup bisa dimengerti adalah bagaimana ragamu di game bisa jadi sangat berkebalikan dengan ragamu di dunia nyata. Terbukti dari tubuh ragawi dan avatar yang berjenis kelamin berbeda. Aaech merupakan contoh dimana avatarnya merupakan pria kekar dan tinggi, padahal kenyataannya ia adalah perempuan dengan penampilan yang biasa. Oh iya, fakta lucu lain bisa terlihat ketika salah satu dari best player Oasis merupakan anak berumur sekitar 11 tahun. Skill memang tidak pandang umur memang.

Apa yang membuat film ini menjadi menarik selanjutnya menurut penulis adalah sosok Daito. Jika kamu adalah penggemar flower boy ala-ala Asia, maka kemungkinan besar matamu tak akan teralihkan dari Si Manis ini.

Terakhir, senyaman apapun kamu dalam permainan, tetap saja yang paling real adalah realitas. Manusia harus hidup dengan menghadapi realitas, bukan lari darinya.

Avatar menyembunyikan imperfection-mu di dunia nyata. Terbukti main cast perempuan di film ini pada kenyataannya memiliki birthmark di sekitar mata kirinya yang tertutupi oleh poninya. Dan avatarnya tentu saja dibentuknya sedemikian rupa agar tidak menyerupai dirinya dan imperfection-nya.

 

Penulis : Anita Fitriyani


TAG#film  #inovasi  #review  #seni