» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Info Kampus
“Do Papuan Lives Really Matter?” Kajian BEM FISIP UNAIR Terhadap Tindakan Represif Aparat
10 Agustus 2021 | Info Kampus | Dibaca 1629 kali
“Do Papuan Lives Really Matter?” Kajian BEM FISIP UNAIR Terhadap Tindakan Represif Aparat: - Foto: IG@bemfisipunair
BEM FISIP Unair melalui Kementerian Kajian Politik Strategis (Kemenpolstrat) membuat sebuah kajian yang membahas mengenai konflik Papua. Kajian tersebut dicetuskan karena adanya kasus represifitas aparat terhadap OAP kembali terjadi di tanah Papua. Pendekatan militeristik aparat dirasa tidak tepat, sehinggga BEM FISIP mendesak untuk melakukan pendekatan secara sosio-kultural.

retorika.id-Jargon “Do Papuan Lives Really Matter?” belakangan semakin kencang disuarakan oleh berbagai elemen sipil. Jargon tersebut menuju puncaknya ketika terjadi tindakan brutal yang dilakukan oleh pihak kepolisian Minneapolis sehingga menyebabkan melayangnya nyawa George Floyd.

Hal tersebut tentu bukanlah kejadian brutalitas aparat kepolisian yang bersifat biasa. Namun, peristiwa tersebut memicu gerakan progresif berbasis kesadaran rasialis dengan mengusung tagar “#BlackLivesMatter”. Tagar itu tentu menginspirasi aktivis pembela Papua yang ada di Indonesia, karena apa yang dialami oleh Orang Asli Papua (OAP) di tanahnya sendiri tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh George Floyd saat itu.

Ketika berbicara mengenai konflik antara negara dan OAP yang terjadi di Papua, satu hal pasti yang kita ketahui bahwa konflik tersebut bersifat kompleks dan mungkin saja tidak dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi di Minneapolis saat itu. Banyak faktor yang dinilai dapat melanggengkan konflik yang terjadi di Papua hingga sekarang.

Jika dibedah secara satu-persatu, kompleksitas konflik tersebut dapat ditelusuri dari berbagai akar, sehingga analogi yang dapat digunakan dalam penggambaran konflik Papua dapat digunakan sebuah istilah “Butterfly Effect”, yang mengarah


pada satu peristiwa yang menyebabkan rentetan peristiwa lain, termasuk kaitan gerakan “#BlackLivesMatter” dan “#PapuanLivesReallyMatter”.

Menurut kronologi yang terdapat dalam kajian tersebut, peristiwa berawal ketika Steven sedang berada di Warung Bubur Ngapak di Jalan Raya Mandala, Kelurahan Mandala, Merauke, Papua. Steven yang diketahui seorang difabel sedang terlibat adu mulut dengan beberapa orang di sana. Keributan tersebut terjadi lantaran Steven yang saat itu dalam kondisi mabuk dan diduga sedang melakukan tindak pemerasan terhadap tukang bubur ayam.

Ketika di tengah keributan, datanglah Serda Dimas Harjanto dan Prada Vian Febrianto polisi militer AU (POM AU) yang bertugas di Lanud Yohanes Abraham Dimara, yang kebetulan hendak membeli makanan disana. Setelah mendengar dan melihat keributan yang terjadi saat itu, kedua anggota TNI AU tersebut berinisiatif melakukan peleraian dengan mengamankan Steven. Saat melakukan pengamanan inilah tindakan yang dinilai berlebihan terjadi, tindakan tersebut berupa pemitingan serta penginjakan kepala yang dialami oleh Steven.

Untuk menghindari penyebaran narasi dan informasi yang bersifat menyesatkan,  TNI AU melakukan tindakan cepat dengan merilis video permintaan maaf yang dilakukan langsung oleh Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU), Marsekal TNI Fadjar Prasetyo yang diunggah melalui akun Twitter resmi TNI AU. Selain itu, atas instruksi Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Kasau Marsekal TNI Fadjar Prasetyo lantas mencopot Komandan Landasan Udara (DANLANUD) serta Komandan Satuan Polisi Militer (DANSATPOM) Merauke.

Tindakan cepat yang diambil oleh TNI dalam kasus tersebut patut diapresiasi, karena dianggap dapat meminimalisir meletusnya peristiwa terburuk yang dapat terjadi akibat hal tersebut. Meskipun telah melakukan tindakan yang relatif cepat, namun banyak aktivis sipil pembela Papua yang kukuh untuk menuntut tersangka diadili secara sipil dengan menggunakan Undang-undang anti diskriminasi.

Berangkat dari ketidakpastian dan ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan konflik Papua yang sekarang begitu kompleks, BEM FISIP UNAIR melalui Kementerian Kajian Politik Strategis (Kemenpolstrat) membuat sebuah kajian yang membahas konflik Papua. Kajian tersebut dicetuskan ketika kasus represifitas aparat terhadap OAP kembali terjadi di tanah Papua.

“Kondisi Papua sejauh ini masih terdapat banyak kesenjangan antara pemerintah dengan masyarakat Papua. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya pemerintah tidak dapat menyediakan panggung diskusi untuk membahas akar permasalahan dari mulai sejarah integrasi hingga proses rekonsiliasi. Sehingga hal tersebut memunculkan diskriminasi yang berpengaruh juga terhadap kebijakan pemerintah yang bersifat rasisme terhadap masyarakat Papua,” terang Yoga Haryo Prayogo selaku Presiden BEM FISIP Unair pada Tim Retorika melalui pesan WhatsApp  (7 /8)

Secara pribadi Yoga Haryo juga menjelaskan bahwa tindakan represif aparat yang terjadi secara singular, seharusnya pemerintah dapat melakukan pendekatan yang bersifat humanis dengan berbasis pada sosio-kultural.

Hal tersebut selaras dengan pendapat yang diutarakan oleh Menteri Kajian Politik Strategis, Agastya Pandu Wisesa bahwasanya dalam kajian tersebut, BEM FISIP berusaha melakukan refleksi terhadap konflik Papua yang selama ini terjadi. Pemerintah Indonesia dinilai gagal dalam menyelesaikan konflik Papua dikarenakan pendekatan yang dipakai selama ini cenderung bersifat militeristik tanpa mengedepankan pendekatan bersifat humanis berbasis kultural.

Melalui kajian tersebut, Kemenpolstrat mendesak pemerintah untuk lebih mengedepankan pendekatan berbasis kultural yang menitikberatkan pada kondisi internal dan eksternal Papua. Kondisi internal diwakili dengan identitas ke-Papuaan, kondisi eksternal diwakili oleh nasionalisme kosmopolitan.

 

 

Penulis: Najmah Rindu Aisy

Editor: Annisa Firdaus


TAG#humaniora  #  #  #