» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Alumni Room
Ketika Mahasiswa Baru Jadi ‘Pasar’ Ideologi
11 November 2018 | Alumni Room | Dibaca 1933 kali
Ketika Mahasiswa Baru Jadi ‘Pasar’ Ideologi: - Foto: Retorika
Ribuan mahasiswa baru menyerbu gerbang Universitas Airlangga (Unair). Dan bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya, semua organisasi mahasiswa (Ormawa) bersiap-siap menyerbu mereka. Begitu mahasiswa baru menjejakkan kakinya di kampus, beragam ideologi ditawarkan pada mereka, oleh organisasi-organisasi beraneka warna. Mungkinkah mahasiswa baru hanya akan menjadi korban persaingan antar ormawa?

SPANDUK bertuliskan “Selamat Datang Pejuang Rakyat” atau “Selamat Datang Mahasiswa Kritis dan Berani” dari spanduk-spanduk lain yang senada, sudah mulai dipasang di lokasi-lokasi strategis kampus Unair, jauh sebelum mahasiswa baru angkatan 1999, resmi diterima menjadi bagian dari kehidupan kampus.

Spanduk-spanduk itu hanya satu dari sekian banyak cara yang dilakoni ormawa – baik itu intra maupun ekstra – untuk menarik mahasiswa baru menjadi anggota organisasi mereka. Adanya persaingan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Meski, ada beberapa ormawa yang berazaskan agama, yang target anggotanya terbatas dan notabene tidak mungkin ‘dicuri’ kelompok lain, tetap terasa ada suhu yang meningkat ketika berbagai ormawa ramai-ramai ‘menjual’ ideologinya.

“Kami tidak pernah merasa berkompetisi dengan organisasi mahasiswa lain,” bantah Sihar Ramses Sakti, Ketua Bidang Kaderisasi, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Surabaya. “Cobalah melihat perbedaan itu seperti pelangi. Semakin banyak warnanya, semakin indah,” lanjutnya puitis.

Yudi, aktivis Aksi Bersama Rakyat Indonesia (AbrI) sepakat dengan Sihar. “Kami menghargai perbedaan,” ujar mahasiswa Sosiologi FISIP Unair ini, pendek. Jadi, ‘Perang Spanduk’ itu bukan pernyataan kompetisi secara terselubung? Bisa iya, bisa juga tidak. Karena seperti kata Agustinus Herus Siswoyo, Ketua Presidium Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Surabaya, “Kita kan punya pasar sendiri-sendiri.”

Lepas dari bersaing atau tidak, Sihar melihat masih ada hambatan-hambatan struktural birokratis di kampus yang membatasi ruang gerak mereka, “Itulah kenapa kami lebih memilih menekankan pendekatan non formal untuk merekrut kader baru,” tuturnya.

Gde Udiantara, Ketua Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) Jawa Timur, juga berpendapat senada.


Menurutnya, lembaga-lembaga eksekutif mahasiswa di universitas sering tidak bisa diajak berjalan seiring. Latar belakangnya bisa jadi sisa-sia peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) yang diberlakukan menyusul gelombang demonstrasi mahasiswa anti pemerintah tahun 1978. Dengan NKK/BKK, organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus memang dijauhakan dari basis massanya. Meski sekarang peraturan itu telah dicabut, rupanya bau-baunya masih tersisa sampai sekarang.

Keberagaman ideologi ormawa terutama diantara organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus (OMEK) memang diakui sendiri oleh para aktivisnya. Namun mereka sepakat bahwa dalam tataran isu, sering ditemukan titik temu. “Terkadang untuk isu tertentu ada ormawa yang sejalan, dan untuk isu lain, tidak sejalan,” ujar Yudi yang menggambarkan ideologi AbrI idetintik dengan keberpihakan pada rakyat tertindas, melalui pendidikan politik berbasis massa.

“Meski latar belakangnya beda-beda, ada Kristen, Katolik, Islam, Nasionalis dan lainnya, perbedaan itu tidak terlalu tajam,’ tambah Heru. Hal itu dibenarkan oleh Ariwibowo M.S, dosen program studi (prodi) Ilmu Politik yang sering diminta analisa politiknya di media massa, “Kadang-kadang saja mereka bisa bertemu dalam suatu isu besar,” jelasnya.

Soal toleransi terhadap perbedaan-perbedaan itu, Sihar mengambil perumpamaan jauh ke belakang, saat Leimena yang Kristen bisa bergaul dengan Natsir yang Islam, dalam kabinet Soekarno. “Mereka yang di elite politik saja bisa seperti itu. Masak kita yang di organisasi mahasiswa, yang mengaku sebagai gerakan moral, tidak bisa,” kata pria berkulit gelap ini, sambil tersenyum. “Kalau terlalu berbeda-beda, tak usahlah kita jadi bangsa,” kata Sihar lagi.

 

Rawan ditunggangi?

Masalahnya sekarang, mahasiswa baru yang relatif buta akan peta politik kampus memang menjadi rentan terhadap usaha-usaha untuk memanfaatkan –kalau tidak disebut menuggangi— mereka. ‘Kehijauan’ mereka bisa jadi membuat mereka tidak bisa membuat pilihan yang didasarkan pada akses informasi yang cukup.

“Tapi, sebagai manusia, mereka kan punya selektivitas!” bantah Redi Panuju, pengamat komunikasi politik dari Universitas Dr. Soetomo ( Unitomo ) Surabaya. Dosen yang rajin menulis artikel di media massa ini, kemudian menjelaskan bahwa dalam menerima penetrasi informasi dari lingkungannya, seseorang akan menyaring perhatian dan terpaan yang diterimanya (attention selectivity and exposure selectivity).

“Tidak perlu khawatir bahwa mereka akan dimanfaatkan, pengaruh-mempengaruhi adalah hal yang wajar dalam kehidupan sosial,” jelas Redi santai.

Proses ‘menunggangi’ itu sendiri memang alamiah, tapi pertanyaan selanjutnya apakah ‘penunggangan’ itu akan berimplikasikan negatif pada kelanjutan gerakan mahasiswa?

Aribowo mengabaikan kekhawatiran itu. “Data statistik menunjuk sejak sepuluh sampai dua puluh tahun terakhir ini, total mahasiswa yang ikut OMEK jauh lebih sedikit daripada mereka yang tidak ikut apa-apa,” katanya. Dan lagi, menurut Aribowo, afiliasi politik mahasiswa sebagian besar ditentukan sejarah sosio-kulturnya. “Misalnya saja, anak-anak Nadhlatul Ulama (NU) di pedesaan, kalau kuliah di Unair, cenderung akan bergabung dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),” jelas Ari memberi Ilustrasi.

“Jangan lupa, sebagian besar mahasiswa itu pragmatis. Dia kuliah, ingin lulus cepat, dan ingin dapat kerja yang bagus. Hanya sebagian kecil yang punya idealisme yang agak ekstrem,” tambah mantan Pembantu Dekan III FISIP Unair ini.

Faktanya memang demikian. Dede Oetomo, pengamat sosial yang juga dosen Antropologi FISIP Unair pernah mengatakan pada Retorika bahwa ia menengarai jumlah aktivis mahasiswa di Surabaya saat ini, tidak lebih dari satu persen jumlah total mahasiswa. Sisanya entah lari kemana. Karena itulah, menciptakan kondisi yang memungkinkan mahasiswa baru menjatuhkan pilihan yang benar-benar berdasarkan nurani, mau tak mau memang harus jadi agenda bersama.

“Harus ada kesepakatan antar OMEK untuk memberi kebebasan memilih pada mahasiswa baru,” usul Udiantara. Sedang, Heru memberi penekanan pada dihapuskannya tekanan – tekan dari birokrat kampus yang cenderung membatasi OMEK tertentu. “Proses pengenalan ideologi yang bersifat indoktrinasi sebaiknya ditinggalkan saja,” himbau Sihar. “Proses doktriner seperti itu hanya akan menghasilka robot-robot,” lanjutnya.

Yang menarik, Redi Panuju memberi alternatif pola kaderisasi yang lebih menekankan pada proses kontemplasi Fokusnya pada pemberdayaan intelektual, bukan mobilisasi fisik. “Jadi yang diberikan bukan nilai-nilai seperti keberaninan berdemonstrasi, misalnya. Itu ‘kan romantisme saja,” kata Redi yang juga menjabat Pembantu Rektor I Unitomo ini. “Kalau tidak begitu, arahnya akan menuju pada parokhial participan, yang bahasa Jawanya, melu guyub, tapi nggak ngerti ngrembug,” kata Redi sambil tertawa.

Sepakat atau tidak sepakat, yang jelas, mahasiswa baru sudah memulai hari-harinya sebagai warga kampus. Dan, siap atau tidak siap, mereka sudah mulai diincar oramawa-oramawa dengan jurus-jurus jitu menggaet anggota baru. Jadi, tinggal memilih atau tidak memilih. Kalau memilih, pilihlah yang sesuai, sebab suara Anda menentukan nasib bangsa... Lho kok seperti pemilu?

 

Kilas Balik ini merupakan tulisan-tulisan terdahulu oleh anggota Retorika yang bermuatan relevan dengan fenomena kampus yang nampaknya terus direproduksi hingga kini.

 

Penulis : Wahyu Dhyatmika, Laily Damayanti, Hardian EB, Fetri, Amir Tejo.

Dimuat dalam Buletin “Cangkruk Retorika” Edisi 13, 15 - 30 September 1999.


TAG#bem  #blm  #demokrasi  #dinamika-kampus